Friday, October 14, 2011

Indonesian-Ahmadiyya Studies: Jejak Tafsir Kaum Ahmadi

Indonesian-Ahmadiyya Studies: Jejak Tafsir Kaum Ahmadi: Majalah Historia, Jumat, 26 Agustus 2011 - 10:17:59 Karya terjemahan Muhammad Ali dicerca tapi juga dipakai sebagai rujukan. RUMAH tingg...

Alquran Cetakan Jepang

Edisi Lebaran
Alquran Cetakan Jepang
Majalah Historia, Kamis, 04 Agustus 2011 - 16:24:32 WIB

Saudara Tua berperan dalam percetakan
Alquran.

KEBUTUHAN mushaf Alquran di Indonesia masih belum terpenuhi. Apalagi pada bulan Ramadan, permintaan meningkat 20 persen dari sekira 570 ribu Alquran yang dicetak per bulan. Umat Islam yakin bahwa Ramadan dianggap sebagai waktu yang tepat untuk berbuat baik dan bersedakah, salah satunya dengan membagikan Alquran.

Menurut data Kementerian Agama, saat ini jumlah umat Islam di Indonesia sekira 180 juta jiwa. Dengan asumsi setiap kepala keluarga minimal satu Alquran, dibutuhkan sedikitnya 36 juta eksemplar per tahun. Sementara produksi Alquran oleh seratus penerbit yang tergabung dalam Asosiasi Penerbit Mushaf Alquran Indonesia (APQI) hanya mampu memenuhi 20 juta eksemplar per tahun. Begitu pula Lembaga Percetakan Alquran Kementerian Agama, hanya berkapasitas 1,5 juta eksemplar per tahun.

Sejarah percetakan Alquran di Indonesia tak dapat dilepaskan dari Jepang. Menurut sejarawan Harry J. Benda, ketika akhir pemerintahan Jepang berada di pelupuk mata, penguasa Jepang mendukung dan memenuhi tuntutan umat Islam. Gunseikan (Kepala Pemerintah Militer) lewat Maklumat No. 22 tanggal 29 April 1945, mengumumkan bahwa mulai 1 Mei 1945 hari Jumat adalah hari libur separuh hari bagi semua kantor pemerintah. Pada 8 Juli 1945, Jepang merestui pendirian Sekolah Tinggi Islam (STI) di Gondangdia, Jakarta, yang diusulkan Masyumi –kelak menjadi Universitas Islam Indonesia dan Institut Agama Islam Negeri.

Selain itu, “penguasa Jepang menciptakan sejarah Islam yang jauh lebih penting lagi dengan mencetak Alquran untuk pertama kalinya di bumi Indonesia, di Jakarta,” tulis Benda dalam Bulan Sabit dan Matahari Terbit.

Jepang berjanji mencetak Alquran sejak awal September 1944. Namun baru terealisasi pada 11 Juni 1945.

“Untuk pertama kali sejak Balatentara Dai Nippon mendarat di tanah Jawa kini dicetak kitab suci Alquran atas usaha Masyumi, sedang kertasnya diterima sebagai hadiah dari pemerintah Jepang,” tulis Soeara Asia, 14 Desember 1944. “Demikianlah untuk membereskan urusan percetakan ini, baru-baru ini wakil-wakil Masyumi dari Jakarta telah berkunjung ke Cirebon guna berunding dengan tuan Ali Afiff dan tuan A. Kodir Afiff, keduanya pemimpin percetakan ‘Almirsjah’ di kota Cirebon.”

Ali Afiff juga dikenal sebagai pedagang eceran buku-buku agama Islam di Cirebon. Dia adalah ayah dari Saleh Afiff, yang menjabat menteri pada masa pemerintahan Soeharto.

Hasil perundingan: percetakan Almirsjah akan mencetak 100 ribu kitab Alquran dengan harga 47 sen sebuah. “…Tanggal 11 Juni, pemerintah mulai melangsungkan pencetakan Alquran. Upacara pencetakan di hadiri oleh [...] pemuka-pemuka Shumubu (Kantor Urusan Agama) dan Masyumi di antaranya K.H. A. Wahid Hasjim, A.K. Muzakkir, H. Djunaedi, M. Zaim Djambek. Selanjutnya hadir pula Abdullah bin Afiff dari Cirebon yang akan memimpin pencetakan itu,” tulis Sinar Baroe, 12 Juni 1945.

Lebih dahulu, M. Zain Djambek dan K.H. A. Wahid Hasjim menerangkan, bahwa tindakan ini adalah suatu bukti kerja sama antara pemerintah Jepang dan umat Islam. “Hal ini tentu akan disambut dengan gembira oleh segenap rakyat karena Alquran adalah suatu barang yang amat penting dalam penghidupan umat Muslimin,” lanjut Sinar Baroe, 12 Juni 1945.

“Pada tanggal 28 Agustus 1945, sebagian Alquran yang telah selesai dicetak, sudah pula dibagi-bagikan oleh Panitia Pencetak Alquran kepada masjid-masjid dan imam-imam di seluruh Jakarta Tokubetu-Si (Kota Praja Istimewa),” tulis Sinar Baroe, 29 Agustus 1945. Alquran juga akan bagikan kepada pesantren dan sekolah Islam di Pulau Jawa.

Di Sumatra, pemerintah Jepang juga menghadiahkan kertas untuk mencetak Alquran pada peringatan hari “Sumatera Baroe” serta sebagai bentuk terima kasih atas kerja sama kaum Muslimin dengan pemerintah. “Sumatra Saiko Sikikan (Panglima Balatentara Jepang di Sumatra) telah menghadiahkan sejumlah kertas kepada kaum Muslimin untuk mencetak 1.000 jilid kitab suci Alquran,” tulis Soeara Asia, 11 April 1945.

Upacara penyerahan hadiah itu dilangsungkan pada 27 Maret 1945, dihadiri Gunseikan dan Somubuco (Kepala Departemen Urusan Umum). Sedangkan dari pemuka dan alim ulama hadir Syekh Djamil Djambek, Hadji Siradjuddin Abas, dan Sutan Mansur.

Keterlibatan Jepang dalam percetakan Alquran kembali terjadi limabelas tahun kemudian, saat perundingan pampasan perang. Pada pertengahan 1951, Amerika Serikat memprakarsai Konferensi Perdamaian San Francisco untuk merundingkan perjanjian damai dan pampasan antara Sekutu dengan Jepang. Konferensi Nihon-koku tono Heiwa-Jōyaku ini menawarkan kepada Jepang kesempatan untuk meraih kembali posisinya di kalangan masyarakat internasional. Sebagai bagian dari hasil konferensi, pada 20 Januari 1958 perjanjian pampasan ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Fujiyama dan Menteri Luar Negeri Subandrio. Perjanjian itu menetapkan bahwa Jepang akan membayar US$223,080 juta selama duabelas tahun dengan cicilan US$20 juta setiap tahun dalam bentuk barang modal dan jasa; menghapuskan utang niaga sebesar US$176,920 juta, dan memberikan bantuan ekonomi sebesar US$400 juta.

Menurut profesor Akademi Pertahanan Nasional Jepang, Masashi Nishihara, perjanjian pampasan perang terdiri atas daftar enam kategori: transportasi dan komunikasi, pengembangan tenaga, pengembangan industri, pengembangan pertanian dan perikanan, pertambangan, dan jasa atau pelayanan. Program ini meliputi hampir semua industri dan satu daftar tambahan berisi 66 kategori spesifik lainnya untuk “dipertimbangkan” agar mendapat dana pampasan. “Ini meliputi suplai medis, pencetakan Alquran, dan perlengkapan astronomis,” tulis Nishihara dalam Sukarno, Ratna Sari Dewi, dan Pampasan Perang.

Sejumlah departemen berkompetisi mendapatkan alokasi dana pampasan untuk proyek-proyek mereka. Tak terkecuali Departemen Agama. Menurut Abdul Aziz dalam “K.H. Muhammad Wahib Wahab: Kementerian Agama Pada Masa Demokrasi Terpimpin,” Departemen Agama menuntut supaya mendapat pembagian harta pampasan perang Jepang untuk membiayai proyek percetakan Alquran. “Tuntutan ini dikabulkan, namun kemudian menimbulkan sikap pro dan kontra dari berbagai pihak karena K.H. Wahib Wahab (Menteri Agama ke-7: 1959–1960 dan 1960–1962) menunjuk Jepang sebagai tempat pelaksanaan proyek itu,” tulis Abdul Azis, termuat dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam, Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik.

Perusahaan Jepang yang mendapatkan proyek tersebut adalah Toppan Printing Co., Ltd. Perusahaan ini, awalnya bernama Toppan Printing Limited Partnership, didirikan oleh sekelompok insinyur dari Biro Percetakan Kementerian Keuangan Jepang pada 1900, lalu direorganisasi menjadi Toppan Printing Co., Ltd., pada 1908. Saat ini, Toppan Printing adalah salah satu perusahaan percetakan terbesar di dunia dengan penjualan US$1,7 milyar pada 2007. “Alquran yang dicetak sebanyak 5 juta eksemplar dengan biaya US$1.800,” tulis Nishihara.

Tapi, menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama, Alquran yang dicetak di Jepang sebanyak 6 juta eksemplar. “Pada tahun 1960 terjadi lagi pentashihan di luar Lajnah, yaitu sewaktu mushaf Alquran dicetak di Jepang sebanyak 6.000.000 naskah. Dalam dua dekade berikutnya setiap Alquran yang dicetak di lndonesia selalu ditashih oleh Lajnah Pentashih Alquran,” demikian laporan Proyek Penelitian Keagamaan Departemen Agama tahun 1984 dalam Mengenal Mushaf Alquran Standar Indonesia.

Memang, semua mushaf yang diterbitkan di Indonesia tak bisa lolos sebelum mendapat tanda tashih (tas-hih, pengesahan koreksian) dari Lajnah Pentashih Mushaf Alquran Departemen Agama. “Lembaga ini dibentuk pada 1957 di bawah Menteri Agama K.H. Muhammad Iljas, dua tahun sesudah kejadian yang banyak diingat orang ini: pembakaran beberapa ribu mushaf cetakan Bombay di Lapangan Banteng, persis pada hari Idulfitri, karena mengandung beberapa kesalahan,” tulis Tempo, 14 April 1984.

Kendati demikian, Laporan Konperensi Volume 1 menyebutkan, sebelum Pleno ke-III Konferensi Dinas Departemen Agama ke-VII, 25-30 Januari 1961 di Cipayung, Bogor, ditutup, “lebih dahulu diadakan pembagian Alquran yang dicetak di Jepang sebagai hasil perjuangan Menteri Agama dalam menggunakan pampasan perang Jepang.” [HENDRI F. ISNAENI]

Retrieved from: http://www.majalah-historia.com/berita-482-alquran-cetakan-jepang.html

Thursday, October 13, 2011

Kitab Para Penyair

Edisi Lebaran

Kitab Para Penyair

Majalah Historia, Jumat, 26 Agustus 2011 - 13:10:39 WIB

Tuhan tidak suka para penyair, kecuali yang bertakwa.

LARUT MALAM. Sesudah salat Isya, dia mulai mengetik. Lampu 40 waat dengan kap khusus menyorot Alquran yang terbuka. Lirih-lirih terdengar surah an-Nisaa dari qariah favoritnya, Saidah Ahmad. Dia merenung. Dipasangnya kaset lain dan terdengarlah suaranya melantunkan surah Yassin. Disusul terjemahannya dalam puisi bahasa Inggris, petikan dari Yusuf Ali. Juga suaranya sendiri, seperti deklamasi. Membangun suasana seperti itu membantu pekerjaannya menerjemahkan Alquran. Setelah menelan Bodrex, dia mengetik lagi.

H.B. Jassin sedang mengerjakan terjemahan Alquran. “Saya melihatnya dari sudut sastra. Dan ini bukan tafsir melainkan terjemahan - dalam bentuk puisi,” ujar Jassin dalam wawancara dengan Tempo, 29 Maret 1975.

Sosoknya tak pernah lepas dari kontroversi. Belum juga rampung masalah cerita pendek “Langit Makin Mendung” karya Kipandjikusmin, dimuat di majalah Sastra edisi Agustus 1968 dan dianggap menghina Tuhan, yang membuatnya duduk di kursi pesakitan dan mendapat vonis setahun penjara dengan masa percobaan dua tahun –salinan putusannya tak pernah dia terima– H.B. Jassin mempersiapkan sebuah karya yang juga memantik kegalauan sejumlah ulama.

Sehari setelah pemakaman istrinya, Arsiti, pada 12 Maret 1962, Jassin menggelar tahlilan di rumahnya selama seminggu. Pada malam kedelapan, ketika tak ada lagi orang tahlilan, Jassin membaca Alquran sendiri. Hatinya terketuk. Keindahan bacaan dan bahasa Alquran mengilhaminya untuk menerjemahkan Alquran dengan bahasa puisi. Dalam pengantar cetakan kedua, Jassin juga mengaitkannya dengan latar belakang bacaan Alquran dari sang nenek dan serangan Lekra kepada dirinya di masa Orde Lama.

“Orang sekarang berlomba-lomba menerbitkan tafsiran yang tebal-tebal, tapi saya kira yang tak kurang pentingnya ialah suatu terjemahan saja yang bisa dipertanggungjawabkan dari sudut keindahan bahasa dan sudut ilmiah…,” tulis Jassin dalam suratnya kepada B. Soelarto, 17 Desember 1964, sebagaimana termuat dalam Surat-surat 1943-1983.

Dalam mengerjakan karyanya, Jassin mengumumkan bahwa dia bermaksud membuat terjemahan baru yang bukan hanya mengungkap makna dari teks Arabnya, namun juga mengabadikan keindahan puitisnya. “Untuk pertama kalinya, dalam konteks Indonesia, seorang penerjemah secara terbuka memberikan preseden bagi tercapainya padanan fungsional yang signifikan pada teks sasaran,” tulis Peter Riddell.

Sebelum mengerjakan karyanya, Jassin mempelajari Alquran dari berbagai terjemahan. Ada karya Mohammed Marmaduke Pickthall, The Meaning of the Glorious Koran, yang terjemahannya, tanpa teks Alquran, disahkan Senat Dewan Universitas Al-Azhar. Ada pula karya John Medows Rodwell (The Koran), Arthur J. Arberry yang non-Muslim (The Koran Interpreted), Yusuf Ali (The Holy Koran), hingga terjemahan Departemen Agama (Al-Qur’an dan Terjemahannya). Dia juga membuka kamus, A Dictionary and Glossary of the Koran, susunan John Penrice, yang memuat semua kata dalam Alquran.

Sepuluh tahun kemudian, setelah mempelajari berbagai terjemahan dan mencoba mengetahui artinya kata demi kata, Jassin merasa lega. “… alhamdulillah sekarang saya sudah sanggup menerjemahkan tidak hanya dengan akal, tapi terutama dengan hati dan perasaan,” tulis Jassin dalam suratnya dari Leiden kepada Kasim Mansur tanggal 24 Oktober 1972.

Jassin berada di Negeri Belanda pada 1972 karena mendapat beasiswa dari Kementerian Pengajaran dan Ilmu Pengetahuan Belanda untuk melakukan riset pembaruan sastra Indonesia dan mempelajari pengajaran bahasa dan sastra di berbagai negara Eropa. Istrinya, Lily (Yuliko Willem), ikut dengan ongkos sendiri. Di Belanda pula Jassin mencoba menyelesaikan karyanya.

Kasim Mansur, sastrawan asal Surabaya yang juga sahabat Jassin, adalah orang yang mendorong dan membantu Jassin dalam menyelesaikan karya ini. Setidaknya ini terlihat dalam surat Jassin kepada Kasim Mansur: “Terima kasih Sim, atas terjemahan Abdullah Yusuf Ali yang saya dapat dari Kasim tiga tahun yang lalu dan atas anjuran Kasim untuk menerjemahkan Alquran.”

Jassin tidaklah asing dengan bahasa Arab. Selama tiga tahun dia mempelajari bahasa Arab dari A.S. Alatas, dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dan penterjemah Al-Majdulin Musthafa Lutfi Al-Manfaluthi –selain pelajaran ilmu-ilmu Islam dari islamolog terkenal Prof Pangeran Arjo Hoesin Djajadiningrat. Jassin juga menerjemahkan buku pelajaran teologi dasar al-Jawahirul Kalamiyah sebagai latihan. “Hanya ia memang tidak secara langsung mempelajari ilmu-ilmu seperti Ma ani-Bayan-Badi yang merupakan gerbang bagi penguasaan ilmu-ilmu alat untuk seorang pentafsir (bukan sekadar penterjemah) Quran,” tulis Tempo, 4 Oktober 1975.

Sudah sepuluh tahun pula Jassin membaca Alquran berurutan dari permulaan hingga habis dan kemudian diulang lagi. Jassin memulai penerjemahan surah Al-Mu’minun karena kebetulan sedang mempelajari surah ini. Sesudah itu, dia akan mengerjakan surah Yassin, yang populer dalam kehidupan orang Indonesia. Kemudian surah Ar-Rahman dan Al-Waqiah karena dia anggap secara estetis paling indah dalam seluruh Alquran karena bunyi dan iramanya. Sesudah itu dia kembali akan menerjemahkan surah-surah sesudah Al-Mu’minun.

“Aduh Sim, makin didalami makin nikmat. Mudah-mudahan saya berhasil mengungkapkan kembali keindahan bentuk dan kandungannya,” tulis Jassin dalam suratnya kepada Kasim Mansur, 26 November 1972.

Sebagian terjemahannya dimuat di Panji Masyarakat dan mendapat komentar dari kawan-kawannya, yang menganggap karya Jassin akan jauh dari aslinya karena mendasarkan pada terjemahan bahasa Inggris atau bahasa lainnya. Dalam surat kepada Kasin Mansur, 9 Desember 1972, Jassin membantah anggapan itu.

“Mengenai komentar kawan-kawan, saya kira lebih baik saya diam saja. Yang penting saya harus memberikan bukti. Hanya perlu dijelaskan bahwa saya menerjemahkan dari Alquran bahasa Arab sebagai induk dan mempergunakan terjemahan-terjemahan lain sebagai perbandingan dan memakai pula kamus-kamus dan Konkordansi Flugel untuk mencek kembali.”

Pada akhirnya Jassin menyelesaikan karyanya dan diterbitkan Djambatan tahun 1978 dengan judul Al-Quranul Karim Bacaan Mulia. Mushaf dan kaligrafi dikerjakan Haji R. Ganda Mangundihardja. Buya Hamka dan Menteri Agama Mukti Ali memberi kata pengantar.

Muncullah kontroversi. Menurut laporan Tempo, 10 Juli 1982, tak lama sesudah cetakan pertama, beberapa orang serentak menyerangnya di media. Bermacam surat datang ke Menteri Agama atau Majelis Ulama Indonesia, minta terjemahan tersebut dicabut dari peredaran. Terbit pula tiga buku: Koreksi Terjemahan Al Quranul Karim Bacaan Mulia H.B. Jassin oleh Nazwar Syamsu, Padang Panjang, Polemik tentang Al Quranul Karim Bacaan Mulia oleh H. Oemar Bakry, dan Sorotan atas Terjemahan Quran H.B. Jassin oleh KH Siradjuddin Abbas.

Umumnya, mereka beralasan Jassin bukanlah ulama yang mempelajari Alquran secara mendalam sebagaimana layaknya penerjemah Alquran. Kemampuan bahasa Arabnya juga disangsikan. Bahkan mereka keberatan pada penggunaan sejumlah istilah dan ungkapan.

Oemar Bakry, misalnya, menuduh Jassin tak punya cukup bekal pengetahuan agama untuk mengerjakan sebuah tugas mahapenting seperti menerjemahkan Alquran. Dia juga menolak pemilihan judul buku Jassin, yang dia anggap “menolahkan martabat Alquran menjadi sama dengan buku-buku lain ciptaan manusia. Buku… bacaan bahagia, bacaan sempurna, bacaan utama, dan lain-lain sebagainya,” sebagaimana dikutip Peter Riddell.

Sebenarnya Jassin bukanlah orang pertama yang melakukannya. Dalam bahasa daerah, R. Hidayat Suryalaga secara bertahap menerbitkan penjelasan Alquran dalam bahasa Sunda dalam beberapa jilid, dengan judul Saritilawah Basa Sunda, yang dimulainya pada 1944. Menurut Peter Riddell, pendekatannya mengingatkan pada karya Jassin, Al-Quran: Bacaan Mulia. Suryalaga menuliskan terjemahannya berdasarkan terjemahan-terjemahan lain dalam bahasa Indonesia dan Jawa, dan menuangkannya ke dalam dangding, syair tradisional Sunda. Namun karyanya tak memicu penolakan seperti dialami Bacaan Mulia Jassin.

“Ini mungkin disebabkan oleh dua hal; pertama, teks bahasa sasaran itu ditulis dalam salah satu bahasa daerah minoritas. Kedua, dan mungkin yang paling penting, Jassin telah meninggalkan jejak yang dapat dimanfaatkan oleh penerjemah-penerjemah lainnya,” tulis Peter Riddell dalam “Menerjemahkan Al-qur’an ke dalam Bahasa-bahasa di Indonesia”, termuat dalam Sadur.

Jassin sendiri sadar bahwa karyanya akan menimbulkan polemik. Sebelum naskah itu terbit, Jassin sempat mempresentasikannya dalam sebuah acara di Musabaqah Tilawatil Quran Nasional tahun 1975 di Palembang. Jassin membacakan ceramahnya sepanjang 11 halaman, menuturkan pengalaman pribadinya mengapa dia tertarik pada Alquran dan kemudian berusaha menerjemahkannya secara puitis. Salah satunya, ujar Jassin sebagaimana dikutip Tempo 4 Oktober 1975, semua terjemahan yang sudah dikerjakan orang dalam bahasa Indonesia ditulis dalam bahasa prosa. Tak mengherankan karena para penerjemah –umumnya guru agama– mementingkan kandungan kitab suci itu. Padahal sebenarnya bahasa Alquran sangat puitis dan ayat-ayatnya dapat disusun sebagai puisi dalam pengertian sastra.

Pembicaraan juga memasuki masalah teknis penerjemahan. Kritik pun berdatangan. Bagi Jassin, kritik semacam itu bisa dialamatkan ke terjemahan mana pun sebab tak ada satu terjemahan yang disepakati semua orang. Alquran, katanya, demikian besar sehingga tak akan habis diterjemahkan. Toh dia mau menerima sejumlah masukan. Dia juga akan meminta pendapat orang dalam koreksi terakhir naskahnya.

Jassin mendapat dukungan dari Ustadz Mukhtar Luthfi al-Anshari, ketua panitia Majelis Ulama DKI yang mengoreksi terjemahannya. Katanya kepada Tempo, 10 Juli 1982: "Kebanyakan ulama sebenarnya hanya berpegang pada sebagian saja dari kitab-kitab tafsir andalan sebagai perbandingan." Dan di Indonesia, "biasanya yang dipegang terutama tafsir Ibnu Katsir."

Jassin dipanggil menghadap Majelis Ulama Daerah Istimewa Jakarta pada 25 Agustus 1976 untuk menjawab berbagai tuduhan seputar terjemahannya.

Atas reaksi itu, Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) bergerak. Setelah Jassin diundang dalam satu sidang para ulama, MUI memutuskan menyerahkan masalah ini kepada MUI DKI Jakarta yang kemudian membentuk sebuah panitia bernama Tim Perbaikan Terjemahan Al-Quranul Karim Bacaan Mulia untuk meneliti karya itu. Panitia diketuai oleh Mukhtar Luthfi al-Anshari. Pekerjaan itu makan waktu tiga tahun, selesai Maret 1982.

Akhirnya karya itu terbit bertepatan dengan hari ulang tahun Jassin ke-65. Penerbitnya Yayasan 23 Januari 1942, yang didirikan tokoh-tokoh dari Gorontalo di Jakarta seperti B.J. Habibie, J.A. Katili, Th. M. Gobel, Ir. Ciputra, Mukhtar Peju, dan H.B. Jassin sendiri. Pada 1984, Yayasan 23 Januari 1942 juga menerbitkan karya Jassin lainnya, Juz Amma Berita Besar.

“Maka, dengan usaha Dr H.B. Jassin menulis terjemahan Alquran, dia telah sampai pada batas yang dia sendiri tidak dapat mundur lagi buat turut memperkuat perkembangan penyebaran Islam di tanah air kita bersama-sama dengan teman-temannya yang lain,” ujar Hamka mengenai terjemahan AlQuranul Karim Bacaan Mulia, seperti dikutip Pamusuk Eneste, H.B. Jassin Paus Sastra Indonesia.

Satu masalah rampung, Jassin kembali membuat kontroversi. Bukan hanya terjemahan Indonesia yang ingin dipuitisasikan, Jassin pun hendak menyusun urutan tulisan Alquran secara puitis. Sejak 1991, dia menulis ulang Alquran dalam bentuk tipografi puisi, diurutkan secara simetris. Jika ujung ayat itu berbunyi akhir ayat "nun", misalnya, bunyi ujung-ujung ayat berikutnya diatur pada yang berbunyi "nun" juga, begitulah kira-kira. Penulisannya dilakukan oleh kaligrafer D. Sirodjuddin A.R. Dia sudah mempersiapkan judulnya, Al Quran Berwajah Puisi.

Yang memotivasi Jassin: "Mengapa Alquran yang begitu indah bahasa dan isi kandungannya tidak ditulis pula secara indah perwajahannya."

Jassin bukanlah sastrawan pertama. Mohammad Diponegoro (Dipo) sudah melakukannya, meski hanya juz 29 dan 30. Dipo menerbitkan buku Pekabaran, Puitisasi Terjemahan Al Qur'an Juz 'Amma, yang diterbitkan Budaya Jaya pada 1977. Bersama karya-karya Djamil Suherman dan Kaswanda Saleh, terjemahan puitis juz 30 Alquran gubahan Dipo dikumpulkan pengarang A. Bastari Asnin dalam Kabar dari Langit, yang meski tak jadi diterbitkan kerap dideklamasikan dan merupakan awal kegiatan puitisasi di belakang hari. Dipo sendiri tak menganggap dirinya pelopor. Dia menyebut penyair Rifai Ali pada 1930-an sebagai perintisnya.

Jasssin baru mengerjakan 10 juz ketika muncul imbauan agar tak melanjutkannya. ”Mudaratnya lebih besar daripada manfaatnya,” ujar ketua Lajnah Pentashih Mushaf Al Quran, lembaga yang berwenang mengesahkan penerbitan Alquran, seperti dikutip Tempo, 13 Februari 1993.

MUI mengajukan keberatan. Dalam suratnya antara lain disebutkan, naskah H.B. Jassin tak sesuai dengan mushaf Al Imam, mushaf (tulisan naskah Quran) yang menjadi standar di dunia Islam, termasuk Indonesia. Susunan kalimat ayat yang dikerjakan Jassin juga tak mengindahkan ketentuan qiroatnya, antara lain soal pemenggalan kalimat.

Tentu saja Jassin kecewa. Soalnya, jauh sebelum ada larangan itu, dia sudah menghubungi orang-orang seperti Ketua Lajnah Pentashih Mushaf Al Quran Hafizh Dasuki, Menteri Agama Munawir Sjadzali, dan Ketua MUI Hassan Basri.

Jassin melayangkan surat kepada Hafizh Dasuki dan Hasan Basri. Dia mempertanyakan keberatan kedua lembaga tersebut. Misalnya, tentang apa saja mudarat dan manfaat kreasinya, tentang Alquran yang beredar sekarang seragam dengan mushaf Al Imam yang asli, juga tentang ketentuan-ketentuan mengenai qiraat yang paling asli.

Alquran berwajah puisi urung terbit hingga kini.

Jassin menyadari surat Asy Syu’araa (para penyair) menyebutkan bahwa Tuhan tak suka pada penyair. Tapi, ada sambungannya,”kecuali orang-orang yang takwa,” ujar Jassin dikutip Tempo. [BUDI SETIYONO]

Retrieved from: http://www.majalah-historia.com/berita-490-kitab-para-penyair.html

Friday, August 19, 2011

Perlawanan Tafsir Terhadap Rezim


Kompas, Jumat, 19 Agustus 2011 | 00:11 WIB

Judul : Tafsir Pembebasan Metode Interpretasi Progresif Ala Farid Esack Penulis : Ahmala Arifin, M.Ag Penerbit : Aura Pustaka, Yogyakarta Tahun : Juli 2011 Tebal : 123 + xi hlm Harga : Rp. 35.000 Peresensi : Rafi’uddin*

“Tanpa manusia al-Qur’an tak bisa berbicara apa-apa” (Ali bin Abi Thalib)

Secara terminologi, tafsir merupakan pemaknaan terhadap teks (al-Qur’an) sebagai upaya menjawab berbagai problem kehidupan. Secara periodesasi perkembangan tafsir di kalangan umat Islam terdiri dari tiga periode; periode klasik, yaitu periode penafsiran yang menjadikan teks al-Qur’an sebagai landasan primer terhadap penafsirannya dan menggunakan sumber riwayat (hadits-hadits). Periode pertengahan, yakni penafsiran yang metode penafsirannya secara maudlu’i, tahlili, dan deduktif. Pada periode inilah seorang penafsir diberikan otoritas untuk memberi pemaknaan terhadap teks al-Qur’an. Terakhir periode kontemporer, yaitu metodenya mayoritas menggunakan metode maudlu’i dan Hermeneutik. Seorang mufasir tidak hanya menjadikan teks al-Qur’an sebagai objek penafsiran yang mempunyai otoritas. Namun pada periode inilah mufasir semakin diberikan kebebasan untuk menafsirkan al-Qur’an. Nalar kritis berpikir dari seorang mufasir menjadi alat untuk menafsirkan yang dikorelasikan dengan konteks yang ada guna memperoleh signifikansi dengan problem kehidupan serta mempunyai semangat masa depan (progresivitas). Baik mengenai aspek agama, politik, social, budaya, dan lain semacamnya.

Seorang Farid Esack dengan metode tafsir (interpretasi) progresifnya mengindikasikan bahwa ia adalah sebagian besar dari mufasir kontemporer. Seperti yang disebutkan di beberapa literature yang lain, ada dua metode yang digunakan oleh Farid Esack di dalam menafsirkan al-Qur’an, metode regsesif-progresi dan metode Hermeneutik. Kedua metode tersebut digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an untuk menjawab problem-problem yang dialami oleh penduduk Afrika Selatan di bawah kediktatoran rezim Apartheid. Farid Esack beserta keluarga-keluarganya adalah gambaran mikro dari derita rakyat Afrika Selatan pada umumnya akibat dari diskriminasi rezim Apartheid.(hal. 32)

Di Afrika Selatan terdiri dari multi agama yang mempengaruhi terhadap kebijakan-kebijakan rezim Apartheid. Islam di Afrika Selatan termasuk dari agama minoritas dari pada agama-agama lainnya. Sehingga orang Islam yang hidup di bawah rezim Apartheid selalu mendapat perlakuan tidak manusiawi. Ketidakadilan selalu dijatuhkan kepada umat Islam. Hingga pada tahun 1970-an hampir semua Gereja di Afrika Selatan mendukung rezim Apartheid. Meski demikian kondisi Afrika Selatan, seorang Farid Esack tidak menyerah terhadap kediktatoran rezim. Ia dengan beberapa pemikir Islam lainnya dengan ide progresifnya membentuk beberapa organisasi sebagai upaya membebaskan penduduk yang tertindas oleh rezim.

Tafsir Pembebasan Farid Esack dalam tulisan Ahmala Arifin “Tafsir Pembebasan Metode Interpretasi Progresif Ala Farid Esack” ada enam konsep pembebasan yang terdapat dalam al-Qur’an dan tiga konsep etika religious. Konsep pembebasan yang terdiri dari takwa, tauhid, manusia, kaum tertindas, keadilan, dan perjuangan. Keenam konsep tersebut memperlihatkan bagaimana teologi pembebasan dalam al-Qur’an bekerja dan berinteraksi antara teks dengan konteks. Misalnya kedua konsep pertama (takwa dan tauhid) dapat dipahami dalam konteks historis politik tertentu. Kedua konsep berikutnya menggambarkan konteks penafsir dalam aktivitas menafsirkan al-Qur’an. Konsep ini sangat berperan bagi seorang mufasir. Adapun kedua konsep terakhir merefleksikan suatu metode dan etos yang membentuk dan menghasilkan pemahaman kontekstual tentang teks-teks al-Qur’an dalam masyarakat yang diwarnai ketidakadilan. Sedangkan tiga konsep etis religious dalam al-Qur’an yaitu iman, Islam, dan kafir (kufr).

Ketiga konsep etis tersebut iman, islam, dan kufr Farid Esack menafsirkan yang justru berbeda dengan kalangan ulama tradisionalis yang masih sarat dengan membeda-bedakan. Tetapi Esack menafsirkan dengan muatan-muatan baru untuk memberi kontribusi terhadap keberagamaan di Afrika Selatan yang hanya dijakdikan sebagai media penindasan oleh rezim.

Konsep pembebasan maupun konsep etika religious dalam al-Qur’an menurut Farid Esack dalam bukunya Ahmala Arifin merupakan induk dari penafsiran Farid Esack yang berada di bawah kekuasaan rezim Apartheid. Karena Islam pada saat itu tidak lebih dari sekedar alat diskriminatif. Tafsir pembebasan Esack ini mencoba mengintegeralkan semua elemen termasuk juga agama yang ada di Afrika Selatan untuk melahirkan perubahan terhadap rezim Apartheid. Maka lahirlah paham pluralisme.

Suatu yang menarik dalam pemikiran Farid Esack yaitu suatu upaya untuk memberikan muatan revolusioner dalam penafsirannya. Sebuah hasil penafsiran yang dilakukan tidak hanya berangkat dari teks, tetapi Farid Esack mencoba dari sudut pandang konteks kesejarahan dan realita real yang sedang dialami dirinya dan masyarakat Afrika Selatan di bawah rezim Apartheid. Buku setebal 132 halaman ini mendorong bagi kalangan umat Islam akan kesadaran konteks sosial, politik, dan agama menjadi basis dalam menafsirkan al-Qur’an. Al-Qur’an bukan suatu kitab yang bersifat beku yang tidak respon pada fenomena kehidupan, melainkan penafsiran terhadap teks al-Qur’an adalah suatu hal yang dinamis dan progresif seperti dalam metode tafsirnya Farid Esack. Upaya untuk bebas dari segala bentuk rasisme, seksisme, diskriminasi, penindasan, dan ekploitasi ekonomi-politik dari rezim Apartheid mendorong Farid Esack dalam tafsir pembebasannya.

Peresensi, Alumni Pondok Pesantren Nasy’atul Muta’allimi dan melanjutkan studi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Jurusan Tafsir dan Hadits fakultas Ushuluddin, dia juga aktif di beberapa Komunitas. Antara lain Lembaga Kajian Sinergi Yogyakarta (LKSY), Komunitas Punulis UIN Jogja (PuJog) dan sekarang sebagai Peneliti di Lembaga Studi Qur’an dan Hadits (LSQH) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Thursday, August 18, 2011

Sains dan Sosiologi Al-Quran

Judul Buku: Al-Quran Sains dan Ilmu Sosial

Penulis : Dale F. Eicklelman, dkk
Penerbit: eLSAQ Press
Cetakan: Pertama 2010
Tebal: xiii + 153Halaman
Peresensi: Masduri*

Sungguh benar tidak salah, Al-Quran memang benar-benar mukjizat yang luar biasa. Kandungan ayatnya mencakup semua aspek kehidupan manusia. Tidak salah jika ada yang menyatakan bahwa Al-Quran adalah sumber dari segala ilmu pengetahuan. Karena tekstualitas ayat Al-Quran yang dikaji secara mendalam mampu memberikan pencerahan yang luar biasa kepada manusia. Misalnya dalam persoalan sains yang dulu dianggap tabu dalam Islam, kini sudah banyak ditemukan rahasianya dalam ayat-ayat Al-Quran. Zaghloul El-Naggar pernah menyatakan bahwa kemukjizatan sains Al-Quran merupakan satu-satunya senjata umat Islam dalam mempertahankan Al-Quran sebagai kitab suci dengan bahasa yang paling menjanjikan dan meyakinkan, ditengah kehidupan sains dan materialisme.

Betapa tidak, perkembangan dunia modern terus menuntut umat Islam beradabtasi dengan kemajuan dunia. Tetapi dengan tidak meninggalkan kerangka dasar agama, yakni Al-Quran. Sebagai kitab suci, Al-Quran disakralkan dalam Islam, ia menjadi alur gerak umat Islam, bahasa Ilahi yang ayat di dalamnya merupakan referensi dari legalitas ajaran dan tindakan umat Islam. Sehingga kadang sebagian umat Islam, menganggap Al-Quran sebagai teks Ilahi yang tidak boleh disentuh, dengan memaknai ayatnya secara tekstualis.

Tidak heran jika kemudian kemajuan Islam semakin sulit dicapai, karena kita enggan untuk berpikir secara kritis terhadap kemajuan dunia, dan mengkaji ayat Al-Quran secara mendalam. Andai umat Islam bisa berpikir kritis kepada kemajuan, kemudian mampu mengkorelasikannya dengan ayat Al-Quran, niscaya umat Islam tidak akan seperti saat ini. Kita sudah tertinggal jauh dengan Barat. Kemajuan sains dan teknologi Barat terus berkembang, sementara kita menjadi penonton yang tiap hari hanya termangu dan terkesima dengan penemuan-penemuan Barat. Dan ketika ada orang Barat mengkaji ayat Al-Quran kemudian dikaitkan dengan realitas dunia, umat Islam baru mengklaim diri, bahwa “benarkan apa yang ada dalam Al-Quran”, tetapi mereka tidak bisa membuktikannya sendiri.

Dale F. Eickelman, Dkk melalui bukunya “Al-Quran Sains dan Ilmu Sosial” mengajak umat Islam untuk maju, dan berpikir kritis menyikapi perkembangan dunia, dengan tidak meninggalkan kitab suci Al-Quran sebagai kitab suci yang disakralkan. Melalui Antologi tulisan dalam buku ini, beberapa penulis di dalamnya, mengkontektualisasikan ayat Al-Quran dengan kajuan realitas kemajuan sains dan ilmu sosial.

Realitas kehidupan dalam teks sains Al-Quran, misalnya tentang laut yang sebutkan 32 kali dalam Al-Quran, dan terma daratan ditulis 13 kali, sehingga perbandingan antara lautan dan daratan adalah 32/13. Pernyataan ini sesuai dengan perbandingan antara daratan dan lautan di bumi yanki 2/3. Rujukan yang sering juga diinterpretasi dalam sains modern tentang gunung sebagai penstabil bumi yang menahan permukaan luar bumi dengan kuat untuk menjaga bumi dari goncangan (baca QS. Anbiya’ ayat 31).

Contoh-contoh di atas hanya bagian kecil dari uraian sains dalam Al-Quran, masih banyak lagi sebenarnya uraian-uraian lain, yang saya kita tidak cukup dibicarakan dalam tulisan singkat ini, seperti proses penciptaan, astronomi, hewan, tumbuhan, reproduksi manusia, pengobatan dan ilmu sains lainnya.

Begitupun dalam ilmu sosilal, ayat-ayat dalam Al-Quran mengajarkan nilai-nilai humanisme yang tinggi, HAM, kesetaraan, kebebasan, dan akhlak yang baik antarsesama. Semua ini adalah anugerah Tuhan, upaya untuk membumikan Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai sumber pertama dalam Islam, sudah pasti menjadi perhatian sepanjang zaman. Maka memahami Al-Quran dengan kontekstualiasasi realitas kehidupan saat ini merupakan sesuatu yang niscaya bagi kemajuan Islam. Jangan bermimpi Islam akan maju dan berkembang, tanpa pemahaman yang mendalam terhadap Al-Quran. Karena kunci kemajuan Islam ada dalam Al-Quran.

Buku ini menarik jadi bacaan umat Islam untuk mendalami pemahaman mereka terhadap Al-Quran, eksplorasi bahasanya menyegarkan dan luas. Sekalipun ada bahasan yang hanya mengulang dari pernyataan-pertanyataan intletual Muslim terdahulu. Tetapi tetap tidak menghilangkan kekhasan buku ini, sebab sajian kata-katanya mengalir dan mudah dipahami.

*Masduri, Ketua Umum Aliansi Mahasiswa Bidik Misi (AMBISI) IAIN Sunan Ampel Surabaya dan Penggagas The Edensor Community Pesantren Nasy’atul Muta’allimin Gapura Sumenep.