Friday, August 19, 2011

Perlawanan Tafsir Terhadap Rezim


Kompas, Jumat, 19 Agustus 2011 | 00:11 WIB

Judul : Tafsir Pembebasan Metode Interpretasi Progresif Ala Farid Esack Penulis : Ahmala Arifin, M.Ag Penerbit : Aura Pustaka, Yogyakarta Tahun : Juli 2011 Tebal : 123 + xi hlm Harga : Rp. 35.000 Peresensi : Rafi’uddin*

“Tanpa manusia al-Qur’an tak bisa berbicara apa-apa” (Ali bin Abi Thalib)

Secara terminologi, tafsir merupakan pemaknaan terhadap teks (al-Qur’an) sebagai upaya menjawab berbagai problem kehidupan. Secara periodesasi perkembangan tafsir di kalangan umat Islam terdiri dari tiga periode; periode klasik, yaitu periode penafsiran yang menjadikan teks al-Qur’an sebagai landasan primer terhadap penafsirannya dan menggunakan sumber riwayat (hadits-hadits). Periode pertengahan, yakni penafsiran yang metode penafsirannya secara maudlu’i, tahlili, dan deduktif. Pada periode inilah seorang penafsir diberikan otoritas untuk memberi pemaknaan terhadap teks al-Qur’an. Terakhir periode kontemporer, yaitu metodenya mayoritas menggunakan metode maudlu’i dan Hermeneutik. Seorang mufasir tidak hanya menjadikan teks al-Qur’an sebagai objek penafsiran yang mempunyai otoritas. Namun pada periode inilah mufasir semakin diberikan kebebasan untuk menafsirkan al-Qur’an. Nalar kritis berpikir dari seorang mufasir menjadi alat untuk menafsirkan yang dikorelasikan dengan konteks yang ada guna memperoleh signifikansi dengan problem kehidupan serta mempunyai semangat masa depan (progresivitas). Baik mengenai aspek agama, politik, social, budaya, dan lain semacamnya.

Seorang Farid Esack dengan metode tafsir (interpretasi) progresifnya mengindikasikan bahwa ia adalah sebagian besar dari mufasir kontemporer. Seperti yang disebutkan di beberapa literature yang lain, ada dua metode yang digunakan oleh Farid Esack di dalam menafsirkan al-Qur’an, metode regsesif-progresi dan metode Hermeneutik. Kedua metode tersebut digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an untuk menjawab problem-problem yang dialami oleh penduduk Afrika Selatan di bawah kediktatoran rezim Apartheid. Farid Esack beserta keluarga-keluarganya adalah gambaran mikro dari derita rakyat Afrika Selatan pada umumnya akibat dari diskriminasi rezim Apartheid.(hal. 32)

Di Afrika Selatan terdiri dari multi agama yang mempengaruhi terhadap kebijakan-kebijakan rezim Apartheid. Islam di Afrika Selatan termasuk dari agama minoritas dari pada agama-agama lainnya. Sehingga orang Islam yang hidup di bawah rezim Apartheid selalu mendapat perlakuan tidak manusiawi. Ketidakadilan selalu dijatuhkan kepada umat Islam. Hingga pada tahun 1970-an hampir semua Gereja di Afrika Selatan mendukung rezim Apartheid. Meski demikian kondisi Afrika Selatan, seorang Farid Esack tidak menyerah terhadap kediktatoran rezim. Ia dengan beberapa pemikir Islam lainnya dengan ide progresifnya membentuk beberapa organisasi sebagai upaya membebaskan penduduk yang tertindas oleh rezim.

Tafsir Pembebasan Farid Esack dalam tulisan Ahmala Arifin “Tafsir Pembebasan Metode Interpretasi Progresif Ala Farid Esack” ada enam konsep pembebasan yang terdapat dalam al-Qur’an dan tiga konsep etika religious. Konsep pembebasan yang terdiri dari takwa, tauhid, manusia, kaum tertindas, keadilan, dan perjuangan. Keenam konsep tersebut memperlihatkan bagaimana teologi pembebasan dalam al-Qur’an bekerja dan berinteraksi antara teks dengan konteks. Misalnya kedua konsep pertama (takwa dan tauhid) dapat dipahami dalam konteks historis politik tertentu. Kedua konsep berikutnya menggambarkan konteks penafsir dalam aktivitas menafsirkan al-Qur’an. Konsep ini sangat berperan bagi seorang mufasir. Adapun kedua konsep terakhir merefleksikan suatu metode dan etos yang membentuk dan menghasilkan pemahaman kontekstual tentang teks-teks al-Qur’an dalam masyarakat yang diwarnai ketidakadilan. Sedangkan tiga konsep etis religious dalam al-Qur’an yaitu iman, Islam, dan kafir (kufr).

Ketiga konsep etis tersebut iman, islam, dan kufr Farid Esack menafsirkan yang justru berbeda dengan kalangan ulama tradisionalis yang masih sarat dengan membeda-bedakan. Tetapi Esack menafsirkan dengan muatan-muatan baru untuk memberi kontribusi terhadap keberagamaan di Afrika Selatan yang hanya dijakdikan sebagai media penindasan oleh rezim.

Konsep pembebasan maupun konsep etika religious dalam al-Qur’an menurut Farid Esack dalam bukunya Ahmala Arifin merupakan induk dari penafsiran Farid Esack yang berada di bawah kekuasaan rezim Apartheid. Karena Islam pada saat itu tidak lebih dari sekedar alat diskriminatif. Tafsir pembebasan Esack ini mencoba mengintegeralkan semua elemen termasuk juga agama yang ada di Afrika Selatan untuk melahirkan perubahan terhadap rezim Apartheid. Maka lahirlah paham pluralisme.

Suatu yang menarik dalam pemikiran Farid Esack yaitu suatu upaya untuk memberikan muatan revolusioner dalam penafsirannya. Sebuah hasil penafsiran yang dilakukan tidak hanya berangkat dari teks, tetapi Farid Esack mencoba dari sudut pandang konteks kesejarahan dan realita real yang sedang dialami dirinya dan masyarakat Afrika Selatan di bawah rezim Apartheid. Buku setebal 132 halaman ini mendorong bagi kalangan umat Islam akan kesadaran konteks sosial, politik, dan agama menjadi basis dalam menafsirkan al-Qur’an. Al-Qur’an bukan suatu kitab yang bersifat beku yang tidak respon pada fenomena kehidupan, melainkan penafsiran terhadap teks al-Qur’an adalah suatu hal yang dinamis dan progresif seperti dalam metode tafsirnya Farid Esack. Upaya untuk bebas dari segala bentuk rasisme, seksisme, diskriminasi, penindasan, dan ekploitasi ekonomi-politik dari rezim Apartheid mendorong Farid Esack dalam tafsir pembebasannya.

Peresensi, Alumni Pondok Pesantren Nasy’atul Muta’allimi dan melanjutkan studi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Jurusan Tafsir dan Hadits fakultas Ushuluddin, dia juga aktif di beberapa Komunitas. Antara lain Lembaga Kajian Sinergi Yogyakarta (LKSY), Komunitas Punulis UIN Jogja (PuJog) dan sekarang sebagai Peneliti di Lembaga Studi Qur’an dan Hadits (LSQH) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Thursday, August 18, 2011

Sains dan Sosiologi Al-Quran

Judul Buku: Al-Quran Sains dan Ilmu Sosial

Penulis : Dale F. Eicklelman, dkk
Penerbit: eLSAQ Press
Cetakan: Pertama 2010
Tebal: xiii + 153Halaman
Peresensi: Masduri*

Sungguh benar tidak salah, Al-Quran memang benar-benar mukjizat yang luar biasa. Kandungan ayatnya mencakup semua aspek kehidupan manusia. Tidak salah jika ada yang menyatakan bahwa Al-Quran adalah sumber dari segala ilmu pengetahuan. Karena tekstualitas ayat Al-Quran yang dikaji secara mendalam mampu memberikan pencerahan yang luar biasa kepada manusia. Misalnya dalam persoalan sains yang dulu dianggap tabu dalam Islam, kini sudah banyak ditemukan rahasianya dalam ayat-ayat Al-Quran. Zaghloul El-Naggar pernah menyatakan bahwa kemukjizatan sains Al-Quran merupakan satu-satunya senjata umat Islam dalam mempertahankan Al-Quran sebagai kitab suci dengan bahasa yang paling menjanjikan dan meyakinkan, ditengah kehidupan sains dan materialisme.

Betapa tidak, perkembangan dunia modern terus menuntut umat Islam beradabtasi dengan kemajuan dunia. Tetapi dengan tidak meninggalkan kerangka dasar agama, yakni Al-Quran. Sebagai kitab suci, Al-Quran disakralkan dalam Islam, ia menjadi alur gerak umat Islam, bahasa Ilahi yang ayat di dalamnya merupakan referensi dari legalitas ajaran dan tindakan umat Islam. Sehingga kadang sebagian umat Islam, menganggap Al-Quran sebagai teks Ilahi yang tidak boleh disentuh, dengan memaknai ayatnya secara tekstualis.

Tidak heran jika kemudian kemajuan Islam semakin sulit dicapai, karena kita enggan untuk berpikir secara kritis terhadap kemajuan dunia, dan mengkaji ayat Al-Quran secara mendalam. Andai umat Islam bisa berpikir kritis kepada kemajuan, kemudian mampu mengkorelasikannya dengan ayat Al-Quran, niscaya umat Islam tidak akan seperti saat ini. Kita sudah tertinggal jauh dengan Barat. Kemajuan sains dan teknologi Barat terus berkembang, sementara kita menjadi penonton yang tiap hari hanya termangu dan terkesima dengan penemuan-penemuan Barat. Dan ketika ada orang Barat mengkaji ayat Al-Quran kemudian dikaitkan dengan realitas dunia, umat Islam baru mengklaim diri, bahwa “benarkan apa yang ada dalam Al-Quran”, tetapi mereka tidak bisa membuktikannya sendiri.

Dale F. Eickelman, Dkk melalui bukunya “Al-Quran Sains dan Ilmu Sosial” mengajak umat Islam untuk maju, dan berpikir kritis menyikapi perkembangan dunia, dengan tidak meninggalkan kitab suci Al-Quran sebagai kitab suci yang disakralkan. Melalui Antologi tulisan dalam buku ini, beberapa penulis di dalamnya, mengkontektualisasikan ayat Al-Quran dengan kajuan realitas kemajuan sains dan ilmu sosial.

Realitas kehidupan dalam teks sains Al-Quran, misalnya tentang laut yang sebutkan 32 kali dalam Al-Quran, dan terma daratan ditulis 13 kali, sehingga perbandingan antara lautan dan daratan adalah 32/13. Pernyataan ini sesuai dengan perbandingan antara daratan dan lautan di bumi yanki 2/3. Rujukan yang sering juga diinterpretasi dalam sains modern tentang gunung sebagai penstabil bumi yang menahan permukaan luar bumi dengan kuat untuk menjaga bumi dari goncangan (baca QS. Anbiya’ ayat 31).

Contoh-contoh di atas hanya bagian kecil dari uraian sains dalam Al-Quran, masih banyak lagi sebenarnya uraian-uraian lain, yang saya kita tidak cukup dibicarakan dalam tulisan singkat ini, seperti proses penciptaan, astronomi, hewan, tumbuhan, reproduksi manusia, pengobatan dan ilmu sains lainnya.

Begitupun dalam ilmu sosilal, ayat-ayat dalam Al-Quran mengajarkan nilai-nilai humanisme yang tinggi, HAM, kesetaraan, kebebasan, dan akhlak yang baik antarsesama. Semua ini adalah anugerah Tuhan, upaya untuk membumikan Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai sumber pertama dalam Islam, sudah pasti menjadi perhatian sepanjang zaman. Maka memahami Al-Quran dengan kontekstualiasasi realitas kehidupan saat ini merupakan sesuatu yang niscaya bagi kemajuan Islam. Jangan bermimpi Islam akan maju dan berkembang, tanpa pemahaman yang mendalam terhadap Al-Quran. Karena kunci kemajuan Islam ada dalam Al-Quran.

Buku ini menarik jadi bacaan umat Islam untuk mendalami pemahaman mereka terhadap Al-Quran, eksplorasi bahasanya menyegarkan dan luas. Sekalipun ada bahasan yang hanya mengulang dari pernyataan-pertanyataan intletual Muslim terdahulu. Tetapi tetap tidak menghilangkan kekhasan buku ini, sebab sajian kata-katanya mengalir dan mudah dipahami.

*Masduri, Ketua Umum Aliansi Mahasiswa Bidik Misi (AMBISI) IAIN Sunan Ampel Surabaya dan Penggagas The Edensor Community Pesantren Nasy’atul Muta’allimin Gapura Sumenep.